THIBÂQ
(KAJIAN MAKNA DALAM RETORIKA BAHASA ARAB)
disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah:
Semantik
Dosen Pengampu:
Dr. Mardjoko Idris, M.A.
Disusun Oleh:
NISWATUSH
SHOLIHAH
1420410189
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
THIBÂQ (KAJIAN MAKNA DALAM
RETORIKA BAHASA ARAB)
A.
PENDAHULUAN
Balâghah dalam terminologi disiplin ilmu berarti sebuah kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam fikiran
dengan ungkapan yang jelas maknanya dan benar strukturnya. Ini sangat berkaitan
erat dengan sastra bahkan pada awalnya mencakup ilmu sastra dengan segala macam
bentuk dan keindahannya. Kemudian ilmu balâghah perlahan-lahan terpisah dari sastra
menjadi ilmu yang otonom dengan obyek pembelajaran yang jelas di antara ilmu-ilmu bahasa Arab. Balâghah dalam pengertian ini sering dipadankan
dengan retorika. Gorys
Keraf mengartikan retorika sebagai suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni,
baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang
tersusun dengan baik.[1]
Balâghah merupakan kajian teoretik yang membahas
bentuk-bentuk pengungkapan dilihat dari tujuannya. Sebagai wilayah kajian, ilmu
ini terkait dengan makna, sehingga selalu bersinggungan dengan semantik yang
menyelidiki makna atau arti.
Salah satu cabang ilmu balâghah adalah ilmu badi’. Ilmu badi’ membahas tata cara memperindah suatu ungkapan,
baik pada aspek lafal maupun pada aspek makna. Ilmu ini membahas dua bidang utama, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassinât
al-Ma’nawiyyah (keindahan
makna). Adapun
yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah salah satu bagian al-Muhassinât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna) yang disebut at-Thibâq.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud at-Thibâq?
2.
Apa
saja macam at-Thibâq itu?
3.
Apa
saja bentuk at-Thibâq itu?
4.
Apa
manfaat at-Thibâq?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Thibâq
At-Thibâq juga disebut al-muthâbaqoh
(kesesuaian), at-takâfu’ (kesepadanan, kesamaan, kesetaraan), dan at-tadlâdu
(pertentangan). At-Thibâq secara bahasa berarti meletakkan tingkat demi tingkat, seperti
meletakkan tutup periuk di atas mulut periuk sehingga menutupi dengan tepat,
atau menutupkan salah satu telapak tangan ke telapak tangan lainnya. Atau dalam
ucapan:
طابق الشيئ على الشيئ، مطابق وطباقا،
أي أطبقه عليه[2]
Sesuatu bersesuaian dengan sesuatu yang lain, cocok dan sesuai,
berarti saling bersesuaian. Persesuaian ini biasanya membutuhkan pertentangan.
Maka tutup dan periuk membutuhkan permukaan tutup ke atas dan permukaan periuk
ke bawah.
At-Thibâq secara istilah menurut ‘Irfan Musthofa:
Mengumpulkan antara makna dan lawannya dalam dua lafadz, baik dalam
prosa ataupun sya’ir.
Sedangkan menurut Aiman Amin Abdul Ghony yaitu:
الطباق هو الجمع في العبارة الواحدة
بين معنين متقابلين، على سبيل الحقيقة، أو على سبيل المجاز، ولو إيهاما، ولا يشترط
كون اللفظين الدالين عليهم من نوع واحد كاسمين أو فعلين، فالشرط التقابل في
المعنين فقط.[4]
Mengumpulkan dalam satu ungkapan antara dua makna, baik secara
hakikat ataupun majaz, walaupun fantasi, dan dua lafadz yang menunjukkan pertentangan
tersebut tidak disyaratkan dari satu macam kata, baik kata benda ataupun kata
kerja. Syaratnya hanyalah keduanya bertentangan makna.
Jadi, at-Thibâq adalah mengumpulkan dua kata yang bertentangan artinya. Contoh
dalam surat al-Kahfi:18:
öNåkâ:|¡øtrBur $Wß$s)÷r& öNèdur ×qè%â 4
dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur;
Pada ayat tersebut, kata aiqâdhan
(bangun) berlawanan dengan kata rûqûdun (tidur). Kedua kata tersebut
bertentangan makna sehingga disebut at-Thibâq.
Contoh lain dalam hadits:
خير المال عين ساهرة لعين ناعمة
Rasulullah SAW bersabda: harta yang paling baik adalah mata yang
berjaga bagi mata yang sedang tidur.
Pada contoh tersebut, Nabi menggunakan lafadz sâhirah
(terjaga) dengan lafadz nâ’imah (tidur). Lafadz tersebut menpunyai makna berlawanan, sehingga
disebut thibaq.[5]
2.
Macam
at-Thibâq
a.
Thibâq Îjâb
Yaitu mengumpulkan dua kata yang berlawanan tanpa adat nafi,
atau menyebutkan sesuatu dan lawannya. Contohnya dalam surat Ali Imran: 26:
ÎA÷sè? ù=ßJø9$# `tB âä!$t±n@ äíÍ\s?ur ù=ßJø9$# `£JÏB âä!$t±n@ Ïèè?ur `tB âä!$t±n@ AÉè?ur `tB âä!$t±n@
Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.
Kata tu’tî
berlawanan dengan kata tanzi’u. Kata pertama berarti memberi dan kata
kedua berarti mencabut. Juga kata tu’izzu berarti memuliakan berlawanan
dengan kata tudzillu berarti menghinakan. Kata-kata tersebut berlawanan
makna dan sama-sama positif, tidak ada adat nafi, sehingga disebut Thibâq Îjâb.
Contoh dalam hadis:
حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ أَنَّ
أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ
رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ
وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ )رواه البخاري)[7]
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari
Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya Ibnu Abu Anas, maulanya
at-Taymiyyiin bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abu
Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila bulan Ramadhah datang, maka pintu-pintu langit dibuka
sedangkan pintu-pintu jahannam ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu".
Pada hadits tersebut, kata futihat (dibuka) berlawanan
dengan kata ghulliqat (ditutup). Kedua kata tersebut berlawanan makna
dan keduanaya sama-sama positif, tidak ada adat nafi, sehingga disebut Thibâq Îjâb.
b.
Thibâq Salab
Yaitu
mengumpulkan dua kata yang sama, salah satunya negatif. Contoh dalam surat
Az-Zumar: 9:
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?"
Dalam ayat tersebut, kata ya’lamûna (mengetahui) berlawanan
dengan kata la ya’lamûna (tidak mengetahui). Kedua kata yang berlawanan
tersebut berbeda dari sisi positif dan negatifnya, sehingga disebut Thibâq Salab.
Contoh
dalam hadis:
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَبِي
الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ
رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ
خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ
وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه
البخاري)[8]
Telah
menceritakan kepada kami 'Amru bin Khalid berkata, Telah menceritakan kepada
kami Al Laits dari Yazid dari Abu Al Khair dari Abdullah bin 'Amru; Ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Islam
manakah yang paling baik?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
"Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan
yang tidak kamu kenal".
Dalam hadis tersebut, kata ‘arafta (kamu kenal) dan lam ta’rif
(tidak kamu kenal) berlawanan makna dan salah satunya berbentuk negatif
menggunakan kata lam. Contoh tersebut disebut dengan thibâq salab.
Contoh dalam sya’ir:
وَنُنْكِرُ إِنْ شِئْنَا عَلَى
النَّاسِ قَوْلُهُمُ وَلَا يُنْكِرُوْنَ الْقَوْلَ حِيْنَ
نَقُوْلُ[9]
Dalam sya’ir tersebut, kata nunkiru (kami mengingkari)
berlawanan makna dengan lâ yunkiruna (mereka tidak mengingkari).
Salah satunya berbentuk negatif menggunakan kata lâ. Contoh tersebut
disebut dengan thibâq salab.
Sementara Ibrahim Mahmud Allan dalam Mardjoko Idris[10]
membagi At-Thibâq menjadi dua bagian, Thibâq Lafdzy dan
Thibâq maknawy. Thibâq lafdzy dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Thibâq salab dan îjâb
Yaitu
apabila kedua kalimat yang bertentangan makna tersebut, yang satu berbentuk manfi/negatif,
dan yang lainnya berbentuk mutsbat/positif, atau yang satu berbentuk
larangan, dan yang lainnya berbentuk perintah. Contoh pertentangan makna ini
dalam surat al-Maidah: 44
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4
ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rß$yd tbqÏY»/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà 4
xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@ ÓÉL»t$t«Î/ $YYyJrO WxÎ=s% 4
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.
Kata yang berlawanan pada ayat tersebut adalah kata la
takhsyawun nâsa (janganlah kamu takut kepada manusia) dengan kata ikhsyaunî
(takutlah kepadaku). Kata pertama berbentuk nahy/larangan, dan kata
kedua berbentuk amr/perintah. Karena perbedaan itulah, gaya bahasa Thibâq
ini disebut Thibâq salab-ijâb.
Contoh dalam hadits:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ
وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (رواه البخاري)[11]
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al 'Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin
Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Permisalan orang yang mengingat Rabbnya
dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti orang yang hidup dengan yang
mati."
Dalam sya’ir tersebut, kata yadzkuru (mengingat) berlawanan
makna dengan lâ yadzkuru (tidak mengingat). Salah satunya berbentuk
negatif menggunakan kata lâ. Contoh tersebut disebut dengan Thibâq
salab-ijâb.
Contoh dalam sya’ir:
يُقَيَّضُ لِيْ مِنْ حَيْثُ لَا
أَعْلَمُ النَّوَى وَيَسْرِيْ إِلَيَّ
الشَّوْقُ مِنْ حَيْثُ أَعْلَمُ[12]
Dalam sya’ir tersebut, kata lâ a’lamu (saya tidak tahu)
berlawanan makna dengan a’lamu (saya tahu). Salah satunya berbentuk
negatif menggunakan kata lâ. Contoh tersebut disebut dengan Thibâq
salab-ijâb.
b.
Thibâq
Haqiqah
Yaitu gaya bahasa pertentangan makna yang kedua kata yang
bertentangan maknanya tersebut sama-sama positif.[13] Contoh
dalam surat an-Najm: 43-45:
¼çm¯Rr&ur uqèd y7ysôÊr& 4s5ö/r&ur ÇÍÌÈ ¼çm¯Rr&ur uqèd |N$tBr& $uômr&ur ÇÍÍÈ ¼çm¯Rr&ur t,n=y{ Èû÷üy_÷r¨9$# tx.©%!$# 4Ós\RW{$#ur ÇÍÎÈ
dan
bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya
Dialah yang mematikan dan menghidupkan, dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan pria dan wanita.
Kata yang berlawanan arti yaitu kata adhhaka (menjadikan
orang tertawa) dengan kata abkâ (menjadikan orang menangis). Dalam ayat
selanjutnya, kata amâta (mematikan) berlawanan arti dengan ahyâ
(menghidupkan). Kemudian kata adz-dzakar (pria) bertentangan dengan al-untsâ
(wanita). Beberapa kata yang bertentangan tersebut sama-sama positif, maka
dinamakan Thibâq haqiqah.
Contoh dalam hadits:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ أَخْبَرَنَا مَخْلَدٌ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتَابَعَهُ أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ
عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي
جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ
فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ (رواه
البخاري)[14]
Telah bercerita kepada kami Muhammad
bin Salam telah mengabarkan kepada kami Makhlad telah mengabarkan kepada kami
Ibnu Juraij berkata telah mengabarkan kepadaku Musa bin 'Uqbah dari Nafi'
berkata, Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Dan hadits ini dikuatkan periwayatannya oleh Abu 'Ashim dari Ibnu
Juraij berkata telah mengabarkan kepadaku Musa bin 'Uqbah dari Nafi' dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril:
"Sesungguhnya Allah mencintai si anu maka cintailah dia". Maka jibril
mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit;;
"Sesungguhnya Allah mencintai si anu, maka cintailah dia". Maka
seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan
bisa diterima oleh penduduk bumi".
Kata yang berlawanan arti yaitu kata as-samâ’ (langit)
dengan kata al-ardlu (bumi). Kata yang bertentangan tersebut sama-sama
positif, maka dinamakan Thibâq haqiqah.
c.
Thibâq
Majâz
Yaitu gaya bahasa pertentangan makna yang kedua rukunnya atau salah
satunya terbentuk dari majaz (penggunaan lafadz bukan pada makna sebenarnya).[15] Contoh
firman Allah surat al-An’âm:122
`tBurr& tb%x. $\GøtB çm»oY÷uômr'sù $oYù=yèy_ur ¼çms9 #YqçR ÓÅ´ôJt ¾ÏmÎ/ Îû Ĩ$¨Y9$# `yJx. ¼ã&é#sW¨B Îû ÏM»yJè=à9$# }§øs9 8lÍ$s¿2 $pk÷]ÏiB 4
Ï9ºxx. z`Îiã tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 $tB (#qçR%x. cqè=yJ÷èt
dan
Apakah orang yang sudah mati[502] kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.
[502] Maksudnya ialah orang yang telah mati hatinya Yakni
orang-orang kafir dan sebagainya.
Lafadz yang
berlawanan makna adalah lafadz maytan (sudah mati) dan lafadz ahyainâhu (Kami hidupkan). Lafadz
yang pertama dan kedua berbentuk mutsbat (positif), namun jika dilihat
dari penggunaan lafadz tersebut akan dimengerti bahwa dua lafadz tersebut bukan
dimaksudkan pada makna sebenarnya (hakiki), melainkan dimaksudkan pada makna
yang majazi. Mati dan hidup dalam ayat tersebut bukanlah dalam arti yang
sebenarnya, melainkan yang dimaksud adalah kesesatan dan mendapat petunjuk.
Sehingga kedua lafadz yang berlawanan tersebut dinamakan Thibâq
Majazi karena kedua lafadz tersebut bermakna majazi.
‘Irfan Musthofa menyebut Thibâq Majazi dengan sebutan îhâm
at-tadlâd (إيهام
التضاد) .[16]
Contoh perkataan
penyair:
ضحك المشيب
فبكى
Orang tua itu tertawa, kemudian menangis.
Kata tertawa pada syair tersebut adalah majaz, mengingat uban tidak
tertawa, sedang kata menangis adalah makna sebenarnya. Gaya bahasa pertentangan
makna ini disebut Thibâq majâz.
Gaya bahasa Thibâq yang kedua lafadznya berlawanan secara maknawy
disebut Thibâq maknawy.[17] Contoh
dalam surat Yusuf: 43:
tA$s%ur à7Î=yJø9$# þÎoTÎ) 3ur& yìö7y ;Nºts)t/ 5b$yJÅ £`ßgè=à2ù't ììö7y Ô$$yfÏã yìö7yur BM»n=ç7/Yß 9ôØäz tyzé&ur ;M»|¡Î0$t (
$pkr'¯»t _|yJø9$# ÎTqçFøùr& Îû }»töäâ bÎ) óOçGYä. $töä=Ï9 crçã9÷ès? ÇÍÌÈ
Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):
"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum)
yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang
terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu
dapat mena'birkan mimpi."
Dua lafadz yang berlawanan arti adalah lafadz khudrin
(hijau) dan yâbisât (kering). Jika dilihat dari penggunaan lafadz yang
berlawanan tersebut akan dimengerti bahwa dua lafadz tersebut bukan merupakan
pertentangan yang hakiki. Mengingat khudrin (hijau) bukanlah hakiki
berlawanan dengan yâbisât (kering). Namun secara maknawy perlawanan
makna tersebut dapat diterima, mengingat gandum yang kering tersebut berwarna
kuning. Dengan demikian warna hijau berlawanan dengan warna kuning. Gaya ini
disebut Thibâq maknawy.
3.
Bentuk
at-Thibâq
Kata yang berlawanan dalam uslub Thibâq adakalanya
berbentuk:
a.
Dua-duanya
isim.
QS.
Al-Hadid: 3
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur (
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÌÈ
Dialah
yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu.
Pada ayat tersebut, terdapat kata awal berlawanan dengan akhir,
kata dhâhir berlawanan dengan bâthin. Kedua kata yang berlawanan
sama-sama berbentuk isim.
b.
Dua-duanya
fi’il.
QS.
Al-a’la:13
§NèO w ßNqßJt $pkÏù wur 4Ózøts ÇÊÌÈ
kemudian
Dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.
Kata yamûtu berlawanan makna dengan kata yahyâ.
Keduanya sama-sama dari fi’il.
c.
Dua-duanya
huruf.[18]
QS.
Al-Baqarah: 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4
dan
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf.
Dalam ayat tersebut, kata lahunna berlawanan dengan kata ‘alaihinna.
Keduanya sama-sama dari huruf. Kata lahunna berorientasi pada hak yang
harus diberikan kepadanya, sedangkan kata ‘alaihinna berorientasi pada
kewajiban yang harus dipenuhi atau dikerjakan oleh mereka.
d.
Dua kata yang
berbeda bentuk.
QS.
Ar-Ra’du; 33
3 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB 7$yd ÇÌÌÈ
dan
Barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka baginya tak ada seorangpun yang akan
memberi petunjuk.
Kata yudlil (disesatkan) berlawanan dengan kata hâdin
(memberi petunjuk). Kata yang pertama berbentuk fi’il, dan kata yang
kedua berbentuk isim.
QS.
Al-An’am: 122
`tBurr& tb%x. $\GøtB çm»oY÷uômr'sù
dan
Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan
Kata maytan (mati) berlawanan dengan kata ahyainâ
(Kami hidupkan). Kata pertama berbentuk isim, kata kedua berbentuk fi’il.
4.
Manfaat
at-Thibâq
Adapun
manfaat at-Thibâq yaitu:
a. Penekanan dan memperjelas makna
محام ناجح خير من طبيب فاشل[19]
Pengacara
sukses lebih baik daripada dokter yang gagal.
b. Kontinuitas kejadian
أذاكر ليلاً ونهاراً
Aku
belajar siang dan malam.
c. Universalitas dan Kekomperhensifan kejadian
كلامي فهمه الذكي والغبي
Perkataanku
dipahami oleh orang yang pintar dan bodoh.
Thibâq membantu mendorong untuk berpikir intelektual, mengingat bahwa Thibâq
paling dekat dengan gagasan pikiran tentang kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan.[20]
Retorika merupakan suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni,
yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik.
Salah satu teknik tersebut adalah menggunakan kata yang bertentangan makna yang
disebut Thibâq. Thibâq yang indah dan sampai pada pembaca/pendengar
secara efektif adalah salah satu macam keindahan bahasa yang akan membawa
kebahagiaan, keindahan dan kemegahan. Keindahan makna tersebut akan menyihir
para pendengar untuk tetap antusias mengikuti apa yang disampaikan pembicara
sehingga para pendegar seakan terpengaruh dengan isi atau pesan dari kata-kata
tersebut, serta tergugah untuk menerapkan pesan tersebut dalam kehidupan. Jadi,
pesan yang ingin disampaikan pembicara akan sampai kepada pendengar secara
efektif dengan adanya gaya bahasa Thibâq tersebut.
D.
KESIMPULAN
At-Thibâq adalah mengumpulkan dua kata yang bertentangan artinya. At-Thibâq
menjadi dua bagian, Thibâq Lafdzy dan Thibâq maknawy. Thibâq
lafdzy dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Thibâq ijâb dan salab, Thibâq
haqiqah, dan Thibâq majâz.
Kata yang berlawanan dalam uslub Thibâq adakalanya
berbentuk: Dua-duanya isim, dua-duanya fi’il, dua-duanya huruf, isim dan fi’il, serta fi’il
dan isim. Adapun manfaat at-Thibâq yaitu: Penekanan dan
memperjelas makna, Kontinuitas kejadian, dan Kekomperhensifan kejadian. Gaya
bahasa Thibâq akan membuat pesan yang diampaikan pembicara sampai kepada
pendengar secara lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Aiman Amin ‘Abdul Ghony. 2011. al-Kafi fi al-Balaghoh. Kairo:
Dar at-Taufiqiyah li at-Turats.
Gorys Keraf. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
‘Irfan Musthofa, 1987. al-Jami’ Li Fununi al-Lughoti
al-‘Arobiyyati wal ‘Arudl. Beirut: Mu’assasah al-Kutub ats-Tsiqofiyah.
Mardjoko Idris. 2007. Ilmu Balâghah: antara al-bayân dan al-badî’.
Yogyakarta: Teras.
Mardjoko Idris. 2008. Semantik al-Qur’an: Pertentangan dan
Perbedaan Makna. Yogyakarta: Sukses Offset.
Mardjoko Idris. 2014. Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa.
Yogyakarta: KaryaMedia.
[2] Aiman Amin
‘Abdul Ghony, al-Kâfi fi al-Balâghoh. Kairo, Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2011, hlm.171
[3] ‘Irfan
Musthofa, al-Jâmi’ Li Fununi al-Lughoti al-‘Arobiyyati wal ‘Arudl, Beirut,
Mu’assasah al-kutub ats-tsiqofiyah, 1987, hlm. 178
[4] Aiman Amin
‘Abdul Ghony, Op.cit, hlm.171
[6] Aiman Amin
bdul Ghony, Op.cit, hlm.174
[7] Ibid,
hlm. 173
[9] Ibid,
hlm.176
[10] Mardjoko
Idris, Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa. Yogyakarta, KaryaMedia,
2014, hlm.37-38
[11] Aiman Amin
‘Abdul Ghony, Op.cit, hlm.176
[12] Ibid,
hlm.176
[13] Mardjoko Idris,
Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa. Op.cit. hlm. 42-43
[14] Aiman Amin
‘Abdul Ghony, Op.cit, hlm.173
[15] Mardjoko
Idris, Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa. Op.cit. hlm. 47-48
[16] ‘Irfan
Musthofa, Op.cit. hlm. 180
[17] Mardjoko
Idris, Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa. Op.cit. hlm. 48-49
[18] Mardjoko
Idris, Semantik al-Qur’an: Pertentangan dan Perbedaan Makna. Yogyakarta,
Sukses Offset, 2008, hlm. 11
[19] Aiman Amin
Abdul Ghony, Op.cit. hlm. 177
[20] Ibid,
hlm. 177
Mbak..mau tanya yg kitab Aiman Amin ‘Abdul Ghony, al-Kâfi fi al-Balâghoh. Kairo, Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2011, itu bisa download pdf, di perpus uin atau dimana ya bisa di dapat?
BalasHapus